Temukan saya: @irwanzah_27 di Twitter & @isl27 di Instagram

Sabtu, 19 Agustus 2017

NoTulen ILK (Indonesia Lawak Klub) 19 Agustus 2017 (Merdeka)

Kang Maman – Merdeka

Insya Allah, Maret tahun depan, jika berhasil mencapai puncak Everest, Mathilda dan Fransiska Dimitri akan menjadi perempuan-perempuan Indonesia pertama yang berhasil menancapkan Merah Putih, memainkan angklung di tujuh puncak tertinggi di benuanya masing-masing. Sosok-sosok pahlawan masa kini.

Berkaitan dengan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 2017, muncul pertanyaan, “Semata itukah jalan menuju pahlawan dan kepahlawanan?”

Meski kita semua yakin, Matilda dan Didi tak hendak dipahlawankan dengan keberhasilannya itu.

Lalu teringat kisah penaklukan Everest, 29 Mei '53, jam 11:30. Edmund Hillary menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest dan mendapat gelar “Sir” dari ratu Inggris. Ia disebut orang pertama, padahal semestinya bukan dia, tapi Tenzing Norgay—sherpa yang berjalan di depannya yang lebih pantas disebut orang pertama.

Ketika diwawancara, “Bukankah kamu lebih pantas untuk pertama kali berada di puncak?” Tenzing menjawab satu, “Betul sekali. Tapi pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan Edmund Hillary menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak.”

Dia melakukan itu, kata Norgay, karena itu adalah impian Edmund Hillary, bukan impian saya. “Impian saya sederhana, hanya membantu orang untuk mencapai impiannya.”

Moral ceritanya jelas, seseorang bisa berhasil karena ada orang lain di sekitarnya. Ibarat pepatah: “Bila hendak menjadi pahlawan, harus ada yang bertepuk tangan di tepi jalan yang dilalui.”

Di dunia ini, tidak semua orang harus menjadi Edmund Hillary. Ada orang-orang yang berbahagia cukup dengan memberikan pelayanan, membantu orang lain mencapai impiannya.

Jadi, pahlawan adalah juga sosok-sosok di belakang layar, yang membuat seseorang (membuat negeri ini) bisa mencapai sesuatu (meraih puncak).

Pahlawan, tak terlihat tapi mewujudkan mimpi dan harapan. [segmen 2]

***

Sedemikian sulitkah untuk menggoreskan kata, sikap, dan perilaku kebajikan dan kepahlawanan dalam perjalanan hidup ini?

Haruskah menunggu hebat dan sempurna untuk bisa menjadi pahlawan bagi negeri ini?

Asri Welas mengajarkan, “Tidak!” Bung Tomo menginsidi bukan seorang ideolog, tapi dia pahlawan. Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir [ejaan lama: Sjahrir], tidak bertempur di atas pelana kuda perang, tapi dia pahlawan. Jenderal Soedirman [EYD: Sudirman] bukan cendikiawan lulusan Belanda, tapi dia pahlawan. Pattimura, Cut Nyak Dhien [ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien], jauh dari Batavia (tempat negeri ini diproklamasikan), tapi dia pahlawan.

Jadi, tak harus sempurna untuk bisa menjadi pahlawan bagi sesama dan bagi negeri ini. Dan setiap dari kita bisa menjadi pahlawan bagi negeri ini.

Simak lagu indah “Bendera”, misalnya: Tak harus sehebat mentari untuk menghangatkan, tak harus setegar batu karang untuk bisa melindungi, tak harus seharum mawar untuk bisa mengharumkan, dan tak mesti seelok sore untuk bisa mengindahkanbagi sesama dan negeri cinta, dan terus menjaga kehormatan bangsa.

Dalam bahasa Iwan Fals, tadi dinyanyikan oleh L2:
Pahlawan itu sederhana, kok. Jangan jadi kutu-kutu pengisap darah di sayap Garuda, jangan jadi benalu di tiang bendera.

Pahlawan adalah dia yang memberi apa yang dia punyai. Dan tekan Ronal tadi, apa pun yang menjadi kekhasan Indonesia di video-video tadi, jangan pernah malu untuk menjadi Indonesia, juga jangan pernah lupa untuk terus menjaga dan mencintai negeri tercinta.

Tidak bhinneka bukan Indonesia. (Maman Suherman)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

99 Mutiara Hijabers

99 Mutiara Hijabers
Klik gambar untuk membeli

Bandung Konveksi Kaos

Bandung Konveksi Kaos
konveksi kaos murah
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Twitter