Temukan saya: @irwanzah_27 di Twitter & @isl27 di Instagram

Senin, 23 Mei 2016

NoTulen ILK (Indonesia Lawak Klub) 23 Mei 2016 (Kesenian Turun ke Jalan)

Kang Maman Kesenian Turun ke Jalan

Di dalam pemahaman Timur, terutama Zen, manusia tidak dilihat sebagai unsur yang terpisah dari alam. Ketika kita mendaki gunung, misalnya, itu bukan semata usaha kita sendiri sebagai manusia, tetapi juga usaha dari gunung itu yang mengangkat kita ke atasnya. Begitu juga di dalam seni. Ketika kita melukis, yang berperan bukan hanya tangan kita, tapi juga kuas untuk melukis beserta catnya pun berperan di dalam menghasilkan lukisan. Jadi, seluruh tindakan manusia adalah tindakan alam itu sendiri. Manusia hanya titik air di dalam samudra luas. Apa pun yang ia lakukan selalu melibatkan seluruh lautan yang ada.

Demikianlah kesenian, seniman, dan alam. Seni adalah karya seniman, manifestasi dari penghormatan terhadap alam dan kehidupan, sekaligus refleksi dari siklus kehidupan manusia dan juga alam. Seni bisa menjadi bagian dari sebuah ritual—tadi dijelaskan oleh JJ Rizal, bersemayam di dalam istana penguasa sebagai sarana mengkritik dan mengingatkan, bagian dari kegiatan keagamaan, juga bisa semata sebagai hiburan. Ondel-ondel, contohnya, ia bagian dari ritual selepas panen raya, dihadirkan untuk menyambut musim baru sekaligus mengusir segala hal yang buruk. Perhatikan gerakan ondel-ondel, seperti orang yang bergerak-gerak menyapu, simbol dari aktivitas membersihkan desa dari berbagai hal yang buruk untuk menyambut musim yang baru.

Bagaimana dengan kesenian turun ke jalan? Mengapa tidak? Turun ke jalan bukan cuma ranahnya mahasiswa, buruh, atau demonstran. Sejak dulu pun seni (termasuk ondel-ondel) memang turun ke jalan—seperti kata JJ Rizal, tetapi sebagai sebuah peristiwa budaya. Dan ketika ia berubah fungsi dan tujuan semata urusan perut, pahami sebagai upaya untuk tetap bisa bertahan hidup. Ketika kesenian kehilangan masyarakat pendukungnya dan bapaknya atau pelindungnya (negara dan pemimpin bukannya hadir malah ikutan menghilang, bahkan menggusur ruang publik tempat mereka semestinya tampil secara bermartabat), maka turun ke jalan menjadi sebuah keniscayaan demi mempertahankan hidup dan mengisi perut semata.

Lambat laun kita pun bisa kehilangan artefak budaya yang di dalamnya mengandung banyak kearifan budaya bangsa. Kata Ronal, “Kita hanya bisa bengong ‘eh’ jika ‘earth’ kehilangan ‘art’.”

Terakhir, daripada memaki lebih baik mengapresiasi. Kata Mas Jarwo, “Mari beri ruang agar lestari.” Kata Cak Lontong, “Mari mengemas seni, jangan mengemis.” Dan belajarlah dari ondel-ondel; jangan berhenti, teruslah bergerak, teruslah menyapu semua keburukan demi meraih kebaikan di masa depan, itulah kearifan budaya bangsa. (Maman Suherman)
Share:

99 Mutiara Hijabers

99 Mutiara Hijabers
Klik gambar untuk membeli

Bandung Konveksi Kaos

Bandung Konveksi Kaos
konveksi kaos murah
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Twitter