Temukan saya: @irwanzah_27 di Twitter & @isl27 di Instagram

Senin, 21 Maret 2016

NoTulen ILK (Indonesia Lawak Klub) 21 Maret 2016 (Lika Liku Lokalisasi)

Kang Maman Lika-liku Lokalisasi

Di awal, Dicky mengutip Rhoma Irama: Ternyata jalan ke neraka mahal harganya, harus pakai uang. Walaupun mahal, anehnya banyak yang suka.

Mungkin jijik, iba, sedih, bercampur satu saat membayangkan saat membaca sebuah buku catatan seorang pengusaha di Kalijodo yang tercecer, bahwa ada PSK yang melayani pemelacur sampai 14 kali sehari hanya untuk mendapatkan lima ratus sampai tujuh ratus ribu rupuiah (1 kali melayani hanya Rp50.000).

Bayangkan jika kalian (laki-laki) adalah orang yang kesekian, sementara yang pertama membawa penyakit menular seksual. Bayangkan (ibu-ibu) jika yang datang ke sana suami kalian. Bayangkan jika itu didapatkan di tempat yang tidak dalam pengawasan kesehatan, dan tidak dalam pengawasan pihak keamanan yang resmi.

Lokalisasi tersirat dalam pernyataan Ronal dan Feni Rose tadi ibarat sebuah gorong-gorong di sebuah istana megah. Sebuah istana akan selalu terlihat indah, mewah, dan mewangi jika di lantainya tidak berserakan sampah, tidak berkeliaran kecoak, tidak merembes air kotor atau air pembuangan. Karenanya, dibuatlah gorong-gorong di bawah tanah; di sanalah air kotor mengalir, di sanalah kecoak bebas berkeliaran, di sanalah sampah berserakan. Anda ingin menjadi bagian darinya? Masuklah ke dalamnya. Dan sampai kapan pun, istana membutuhkan gorong-gorong itu jika istana itu ingin tetap bersih dan mewangi.

Jadi teringat puisi W.S. Rendra – Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta:
Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
([Dan]) Mereka harus pulihkan derajat kalian
([Karena]) Mereka harus ikut memikul kesalahan 

Mengapa kita salah? Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar '45 menyebutkan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Jika negara tak sanggup menyediakan, salah siapa?

Jadi, jika tak bisa membantunya, setidaknya janganlah melukainya dengan lisanmu, menistainya dengan tatapanmu. Jika cuma bisa memaki, jika cuma bisa menghina dan menista, tak akan membuat nasibnya berubah, dan juga tak akan membuat derajat kita naik. Berhenti memaki, apalagi jika ikut menikmati.

Terakhir, saya ingin menutup notulensi ini dengan dua bait dari Kupu-kupu Malam yang tadi dinyanyikan Denny Chandra. Kupu-kupu malam itu seperti tersirat dalam surat mereka yang dimunculkan di VT tadi: “Yang dia tahu hanyalah penyambung nyawa.”

Dan bait kedua; mereka yang datang mungkin anak laki-laki kita, adik kita, bapak kita, kakek kita, atau suami kita adalah: “Sucikah mereka yang datang?”

Mari bertanya ke dalam diri masing-masing:
Sucikah mereka yang datang?
Sucikah kita? (Maman Suherman)
Share:

99 Mutiara Hijabers

99 Mutiara Hijabers
Klik gambar untuk membeli

Bandung Konveksi Kaos

Bandung Konveksi Kaos
konveksi kaos murah
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Twitter