Kang Denny:
10 tahun yang lalu, tepat tanggal 26
Desember 2004, sebuah bencana besar melanda bumi Serambi Mekah, Aceh.
Bencana hebat berupa gempa bumi dengan kekuatan 9,1 sampai dengan 9,3 SR,
gempa tersebut kemudian disusul dengan bencana tsunami yang menyapu sebagian
besar wilayah Aceh. Menewaskan lebih dari 230 ribu orang saudara-saudara kita,
dengan korban terbanyak berasal dari Aceh, Indonesia.
Dan malam hari ini, duka yang sangat mendalam tentu saja, dan juga
untuk saudara-saudara kita di Aceh juga yang masih terkena musibah banjir,
Banjarnegara yang terkena longsor, dan juga saudara-saudara saya di Baleendah,
teman-teman saya di Dayeuhkolot atau di Bandung Selatan yang juga sudah hampir
seminggu ini terkena yang namanya banjir yang sangat luar biasa.
Itu 30 tahun yang lalu, saya sekolah di sana, di SMA Baleendah itu,
saya masih merasakan yang namanya menenteng sepatu untuk ujian karena memang banjir
yang melanda pada saat itu, tetapi harus tetap ujian.
Jadi, sampai sekarang, 30 tahun yang lalu, dan sekarang masih terulang
lagi. Moga-moga di kemudian hari, ada selalu perbaikan—tentu saja—karena ini
adalah, kesadarannya adalah kembali lagi kepada masyarakat dan tentu saja peran
serta dari pemerintah.
Kang Maman – Berita-Berita Terhangat Minggu Ini
Minggu, 26 Desember 2004, jam menunjukkan angka 7.58.53 WIB. Hanya dalam hitungan 500 hingga 600 detik, ratusan
ribu saudara kami di Banda Aceh, tersaput gempa dan gelombang dahsyat tsunami
9,3 SR. Ratusan ribu sekejap meregang nyawa, dan juga puluhan ribu hilang tak
ditemukan jasadnya.
Teringat pada Bedu Saini, seorang fotografer yang teguh mengabadikan
detik-detik yang teramat mencekam itu, termasuk saat ia memotret seorang laki-laki
hebat yang nekat terjun ke sungai untuk selamatkan seorang bayi yang
mengambang di tumpukan sampah. Tetapi setibanya di rumah, Bedu Saini tidak lagi
menemukan ibunya, putrinya yang berusia 16 tahun dan 4 bulan karena ikut
tersaput gelombang.
Juga,
teringat bocah pesisir pantai desa Tibang, Syiah Kuala, yang menggunakan kostum
Timnas Portugal nomor 10 “RUI COSTA”, Martunis namanya. Setelah 21 hari
tersaput gelombang, tubuhnya ditemukan dalam keadaan masih hidup; tersangkut di
pohon bakau, dan kemudian menimbulkan simpati dunia. Martunis pun bertemu
pesepak bola-pesepak bola ternama, Presiden SBY [Susilo Bambang Yudhoyono],
Celine Dion, hingga diangkat anak oleh Cristiano Ronaldo. Tapi semua itu tak
bisa mengembalikan ibundanya yang hilang tak ditemukan hingga kini bersama
Salwa, Nurul A’la, dan Annisa, saudari-saudarinya; hilang tersaput gelombang
di antara 128 ribuan nyawa yang melayang dan 90 ribu jasad yang hilang entah ke
mana.
Jerit
kematian dan keperihan itu masih menari di depan mata kami hingga hari ini,
tepat 10 tahun setelah kejadian itu. Tapi hidup harus terus berjalan. Saudara-saudaraku di ujung barat negeriku tetap tegar berdiri hingga kini, menata
dan menatap hidupnya bersama saudara-saudaranya di seluruh Indonesia, tidak melulu terserap ke masa lalu yang penuh seduh
sedan dan berlinang air mata.
Saudara-saudara
kami rakyat Aceh dan sejumlah warga dunia lainnya yang juga tersaput tsunami,
adalah orang-orang terpilih untuk menjadi syuhada. Berpulang bersama-sama ke haribaan-Nya
karena Allah telah berjanji tak akan
memberi cobaan yang melebihi kemampuan hambaNya. Dan putra-putri Serambi Mekah
mampu menghadapinya.
Ada yang pergi, ada yang datang, itulah kodrat kehidupan. Seperti juga keluarnya personel Noah, dan akan datang pengganti barunya.
Ada yang pergi, ada yang datang, itulah kodrat kehidupan. Seperti juga keluarnya personel Noah, dan akan datang pengganti barunya.
Saudaraku di
Aceh, zikir dan doa kami tak putus bertalu-talu untukmu selalu. Badai pasti
berlalu, dan damai insya Allah pasti bersamamu. Tapi doa ini tidak untuk
pemilik rekening gendut yang berasal dari uang haram. Resolusi 2015 kami, Indonesia yang damai, Aceh negeriku yang damai, dan tidak
ada toleransi terhadap sampah masyarakat: Para KORUPTOR!
Terima
kasih. (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar