Kang Maman – Kelahiran Selebriti, Tren Mewarnai Bulu Ketiak, Miras Oplosan, dan Great Sale
Orang ternama, masuk TV karena melahirkan. Orang biasa, masuk TV karena
miras [minuman keras] oplosan. Sebuah tragika.
Kita tidak pernah bisa memilih, terlahir dari orang tua biasa yang jauh
dari sorot kamera, atau orang tua ternama (pesohor) yang tidak perlu undang
media, tapi medialah yang menghampirinya—seperti laron berebut mendekati lampu
di musim hujan.
Toh, kalaupun masuk dalam sorotan, bayi mungil itu tentu belum
mengerti apa-apa; tentu belum tahu, apakah kelahirannya boleh diliput dan masuk
media, yang menggunakan frekuensi publik atau tidak.
Dan setelah
besar nanti; setelah bisa memahami mana yang boleh mana yang tidak, barulah
anak memilih jalannya sendiri. Akan mewarnainya dengan putih, hitam, hijau,
biru, kuning, atau merah—seperti tren mewarnai bulu ketiak saat ini. Terserah
anak itu sendiri. Yang pasti, kata teman-teman tadi, belajarlah dari bulu
ketiak; meski terjepit, tetap bisa tumbuh.
Namun, apakah
dalam pertumbuhan, dalam perjalanan hidup nanti akan berakhir bahagia atau
tidak, kita juga tidak tahu. Hanya bisa berharap, berharap bisa pulang
kepada-Nya dalam sebaik-baiknya pulang. Dan kita, tentu tak pernah berharap
hidup kita, usia kita, akan terdiskon besar-besaran oleh “great sale” ulah kita sendiri: Mati muda karena miras oplosan.
Mana ada orang yang berharap bisa masuk TV saat meregang ajal lewat
miras oplosan?
Doa kita
sebenarnya sama: Lahir dari cinta dan karena cinta, hidup bertabur cinta dan
berpulang dilepas dengan penuh cinta untuk menghadap Sang Maha Pencipta.
Dan, oh iya,
persoalannya satu: Akankah diliput media atau tidak saat meninggal kelak? Saya
masih percaya, belum ada manusia yang mengikat kontrak dengan stasiun TV, minta
dibuatkan reality show tentang
kematiannya.
Terakhir,
kita bisa tawar dan beli dunia, tak cuma frekuensi publik bernama televisi,
cukup dengan modal ‘3-ta’ di
belakang; harta, tahta, dan selebrita. Nulis ‘selebrita’nya: ‘SALE BeRITA’, beritanya gampang di-sale.
Jika memilih
ketiganya, syukurilah dengan penuh kerendahan hati, tapi ingat, itu belum cukup
untuk mendapat kebahagiaan yang lebih hakiki. Ada satu ‘ta’ yang penting, dan ‘ta’
itu di depan: Takwa. (Maman
Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar