Kang Maman – Pantai atau Gunung?
Hari ini, 11 Desember, adalah “Hari Gunung Sedunia”. Dan alam
terkembang menjadi guru. Benar kata Kang Denny, “Jika ingin tahu lebih jelas
sifat asli orang-orang, ajaklah mendaki gunung.” Di atas sana, tak ada yang bisa
sembunyikan karakter aslinya; jika egois akan egois, penakut akan banyak
diam, pengeluh akan berhenti berkeluh kesah sepanjang perjalanan.
Dari situlah kita akan semakin tahu kekurangan dan kelebihan diri
masing-masing, dan kemudian bisa saling introspeksi diri.
Mendaki, tak jauh beda dengan kehidupan. Lewati tanjakan terjal yang
bisa bikin menyerah, berhati-hati susuri tepi jurang jika tak hendak
terpeleset. Dan jika terpeleset, mampukah melanjutkan perjalan? Atau, memilih
mundur dan turun untuk selanjutnya pulang? Atau, berhenti untuk sejenak melepas
lelah dari perjalanan panjang?
Sesekali
kita butuh orang lain untuk berpegangan tangan saat lewat titian. Bahkan, harus
percayakan nyawa kepada teman ketika perlu memanjat bagian tebing curam.
Menatap
lautan juga penuh dengan filosofi hidup. Seperti kata Riani, “Laut dipisahkan
pasir yang meredam air laut.” Apa pun kejadian di laut, laut tak akan
menggempur daratan, kecuali bencana sebesar tsunami. Yang bermakna: Sebisa apa
pun yang terjadi dengan kita, jangan sampai membuat orang lain mengalami dampak
negatifnya. Tetap melakukan dan berbuat yang terbaik tanpa ada yang harus tersakiti,
terzalimi, dan teraniaya.
Laut juga mampu tanggulangi sampah yang menyesakinya; dengan dihempaskan
ke pantai, atau memendamya di kedalaman
sehingga menjadi sedimen. Begitu juga kehidupan. Ada hal yang harus kita
lakukan, dan ada hal yang harus kita pendam; supaya tidak keluar ke mana-mana supaya tidak menjadi fitnah atau sejenisnya.
Laut, punya
lapisan yang berbeda-beda pada kedalaman-kedalamannya. Tetapi dia tetap laut. Kita
boleh berbeda satu sama lain, tapi kita harus tetap bersatu padu.
Bumi, sangat
dipengaruhi laut. Tapi laut tidak memengaruhi dirinya, dan makhluk di dalamnya
juga tetap menjaga dirinya masing-masing tanpa harus dipengaruhi oleh air laut.
Lihat ikan laut; walau airnya asin, rasanya tetap tawar. Artinya, walau di
belahan mana pun berada, kita harus tetap menjadi diri sendiri yang bijak dan
mampu membuat perubahan yang baik untuk sekeliling.
Dan filosofi
tertinggi, sendiri di puncak bukit atau sendiri di tengah samudra, semakin
meyakinkan kita bahwa sungguh kita teramat kecil. Ibarat sebutir pasir di
pegunungan; sebulir air di samudra, tak pantas untuk pongah.
Sekali lagi,
laut atau gunung? Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga. Kamu
suka gunung, aku suka laut, mari bersatu dalam “bejana cinta”. Cinta alam, cinta
sesama, adalah wujud mencintai kehidupan. (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar