Temukan saya: @irwanzah_27 di Twitter & @isl27 di Instagram

Selasa, 12 Mei 2015

Bokis

Oleh: Maman Suherman (@maman1965)

Atas nama MORAL, sejumlah lokalisasi “resmi” ditutup, “rata dengan tanah”. Sementara di depan mata, kita tetap dengan mudah mendapatkan layanan berahi di berbagai tempat, lokalisasi “tidak resmi” berselubung ragam nama. Tak cuma pramuseks lokal, tapi berbagai bangsa pun bisa dicicipi mulai dari Rp1,3 juta sampai Rp4-5 juta short time. Lalu kita semua tiba-tiba merasa aneh dan berubah jadi “suci”, pura-pura kaget saat prostitusi online diungkap. Plis deh ah...

Sejak sebelum era kebebasan media, pra 1998, daftar nama seleb yang disebut-sebut menjajakan diri sudah tersebar dalam bentuk fotokopian. Lebih banyak bohongnya, lebih banyak sensasinya, dan sengaja disebar untuk makin memunculkan rasa “ingin”.

Saat menjadi jurnalis media wanita, saya pernah menghubungi penyebar daftar nama itu, dan mereka meyakinkan diri semuanya memang bisa “dipake”. Tapi kalau kita menanyakan beberapa nama, jawabannya selalu ngeles, “Aduh dia lagi di-booking,” begitu seterusnya.... Lalu dia pun menawarkan sejumlah nama lain, yang katanya juga berstatus “artis”. Usut punya usut (sudah saya ungkap di buku saya: Bokis dan Bokis 2, juga di novel Re: terbitan @penerbitkpg) itu ada polanya. Jadi, sejumlah pramuseks sengaja disisipkan ke sinetron atau film layar lebar. Entah sebagai figuran asal lewat, atau dapat 1-2 scene, dialog. Mereka ditawarkan muncikari/germonya, tak perlu dibayar, bahkan yang meloloskannya dapat bonus tidur dengan pramuseks itu. Bagi mereka, yang penting “anak binaannya” muncul di layar kaca atau di layar lebar, lalu mereka edit gambar itu dan dikumpulkan.

Gambar-gambarnya itulah yang ditawarkan kepada pemelacur/konsumen sebagai bukti kalau “anak binaannya” adalah artis. Dan dengan demikian, harga penawaran pun menjadi naik berlipat-lipat ganda. Demikianlah pola yang berulang tetap hingga kini. Harga menjulang, dari Rp800.000, naik 1,5 juta, dan seorang narsum saya, minta Rp4 juta short time dengan alasan sudah muncul 5 kali di layar TV. Dan ketika “dikulik-kulik” kemunculannya bukan sebagai artis dengan A besar, ya figuran, juga bintang tamu reality show.... Lalu sekarang semua jadi merasa suci, pura-pura kaget seolah fenomena pelacuran online muncul dari langit, plisssss....

Setelah era kebebasan pers '99, media ditumpangi penumpang gelap. Sejumlah media di iklan mininya terang-terangan menawarkan jasa pelacuran. Di iklan mini itu lengkap dengan bentuk pelayanan yang ditawarkan, harga hingga nomor telepon pramuseksnya. Dan online telah menjadi “lokalisasi terbesar di dunia” tanpa sekat tanpa “batas wilayah”. Untuk naikkan harga pramuseks cukup diberi label: mahasiswa/mahasiswi, masih SMA, baru lepas perawan, jualan karena BU (Butuh Uang) semata. Jadi, bukan semata dikemas dalam status artis, bintang film, DJ atas segala profesi yang disoroti gemerlap lampu semata. Pertanyaan sederhana, mengapa “pasar syahwat” itu marak? Tentu ada penawaran karena ada permintaan.

Kalau rantai permintaannya tidak ikut diungkap, pemelacurnya/konsumennya diperlakukan beda dengan pramuseksnya, sama juga “bohong”. Saya malah berpendapat, kalau sekadar ingin cari sensasi dan “ledakan”, ungkap pelakunya lebih heboh dari sekadar ingin tahu siapa sebenarnya AA. Itu betul-betul seperti yang terungkap dalam puisi WS Rendra, Bersatulah Pelacur-Pelacur....

Ketika dahulu bekerja di rumah produksi/agensi dan ikut tender KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Kementerian, fenomena ini meraja. Permintaan dan penawaran pramuseks kerap mewarnai penawaran calon pemenang, dan kita memperhalusnya dengan istilah pelakunya: oknum. Jadi, jangan-jangan angka Rp80-200 juta sekali pelayanan itu, berasal dari uang rakyat, dari proyek tender.... Karenanya, saya berpendapat, akan jauh lebih sensasional kalau kita akhirnya tahu dan bisa diungkap siapa-siapa konsumen-konsumen mereka...

Saya jadi teringat seorang ibu yang menawarkan anak gadisnya kepada saya hanya agar bisa diselipkan dalam sinetron yang saya produksi juga di majalah saya. Ibu itu dengan dingin berujar, “Pak, saya tinggalkan anak saya, terserah mau diapain aja, asal dia diajak main di sinetron yang Bapak buat.” Dan ketika ibunya pergi, sang anak bercerita bahwa saya bukan orang pertama yang ditawarkan oleh ibunya. Siapa saja? Sejumlah nama orang-orang “baik” dan “suci” di mata masyarakat pun meluncur dari mulut gadis 15-an tahun itu...

Hipokritas kita sedang diuji lagi dengan pura-pura kaget mengetahui terungkapnya pelacuran online. Selamat hari Selasa, semoga makan siang nama-nama yang ada di gadget muncikari yang tertangkap itu tetap bisa lunch dengan nyaman.

Oh iya, sudahkah kita melacurkan diri dan profesi kita demi lembar-lemar rupiah bahkan dolar?

Ketika saya meluncurkan novel Re: yang berbasis kisah nyata, orang bertanya, itu kejadian tahun kapan? Saya jawab, 1987-1989.... Orang-orang pun kaget dan nanya lagi, tahun segitu sudah ada? Kenapa mereka kaget? Karena novel Re: saya angkat dari skripsi saya: Pola Pemerasan Dalam Kepelacuran Lesbian di Jakarta Pusat 1987-1989 dan saya turun lapangan 2 tahun.

2 tahun menyelinap dalam “sindikat” pelacuran, membuat saya bertemu banyak pelanggan dengan “nama besar”, orang “baik” dan “suci” di mata publik. Jadi kalau ada yang “cuci tangan” dengan fenomena ini.... Saya kadang-kadang cuma bisa membatin.... Cuma ingat 1 ajaran:

Rahasiakanlah amal-amal baikmu,
Sebagaimana
Kamu
Merahasiakan dosa-dosamu...

Terhadap para pramuseks, saya ingat twit sahabat saya, @wilsonsitorus : Kita tak ada di masa lalu mereka, tak layak menghakimi masa kini mereka. Kata Ebiet G. Ade, “Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat....”

Terima kasih sudah mau ditebarin sampah di timeline kalian.... Oh iya, Bokis itu juga bisa berarti: BOtaK tapI Seksi...

Wallahu alam..



* Diambil dari kultwit @maman1965 pada
Share:

99 Mutiara Hijabers

99 Mutiara Hijabers
Klik gambar untuk membeli

Bandung Konveksi Kaos

Bandung Konveksi Kaos
konveksi kaos murah
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Twitter