Kang Maman – Beli vs Sewa
Seperti halnya cinta yang sakral dan disahkan lewat pernikahan, perikatan
jual beli, sewa menyewa, atau sewa beli yang baik mesti diawali dengan sebuah
konsensus (kesepakatan, bukan keterpaksaan), yang kemudian berlanjut dengan
akad atau ijab kabul. Dengan dasar, kedua belah pihak tak boleh saling
merugikan dan tidak boleh ada unsur penipuan.
Hukum perikatan sewa atau beli ini juga harus menempatkan kedua pihak. Yang
menjual dan yang membeli, yang menyewa dan yang menyewakan berada dalam posisi
setara di muka hukum—tak ada yang lebih tinggi dan kuasa dari yang lain. Dan
asas terakhir yang sangat penting bahkan ditekankan oleh agama: Semua perikatan
sebisa mungkin tak cukup dilisankan, tapi harus dituliskan—sedekat apa
pun hubungan si penjual dan si pembeli, si penyewa dan yang menyewakan. Karena
tulisan lebih kuat persaksian dan pembuktiannya dibandingkan semata-mata
omongan.
Lalu, menarik kata Dimas Beck yang pro sewa, “Bahkan cinta pun tak
harus memiliki.” Atau kata Ronal, “Bagi banyak orang, bahkan seribu tak pernah
cukup, meski tahu satu tak habis-habis. Jadi, sewa saja.”
Sebaliknya juga menarik apa kata Cak Lontong dan Dian Ayu yang pro
membeli, “Dengan membeli, kita bisa menurunkan, mengalihkan, dan menghibahkan
kepada orang lain atau anggota keluarga.”
Jadi, silakan pilih, keputusan di tangan Anda. Di balik semua itu, jual
beli atau sewa menyewa juga seperti halnya cinta, bisa memutuskan silaturahmi
jika di dalamnya terselip sebilah belati kecurangan yang melukai (bukan
berdasarkan kejujuran hati). “Bohong itu sumber masalah,” tegas Dian Ayu.
Sebagai penutup, Kimau tadi mengatakan, “Kalau beli, bisa dijual dan
disewakan kembali.” Sebaliknya, ingat, kalau sewa jangan diperjualbelikan.
Kang Denny tadi menekankan di akhir:
Dan sewa atau beli seperti halnya cinta; jangan jual diri, jangan paksakan hati. (Maman Suherman)
Dan sewa atau beli seperti halnya cinta; jangan jual diri, jangan paksakan hati. (Maman Suherman)