Kang Maman – Kesenian Turun ke Jalan
Di dalam pemahaman Timur, terutama Zen, manusia tidak dilihat sebagai
unsur yang terpisah dari alam. Ketika kita mendaki gunung, misalnya, itu bukan
semata usaha kita sendiri sebagai manusia, tetapi juga usaha dari gunung itu
yang mengangkat kita ke atasnya. Begitu juga di dalam seni. Ketika kita
melukis, yang berperan bukan hanya tangan kita, tapi juga kuas untuk
melukis beserta catnya pun berperan di dalam menghasilkan lukisan. Jadi,
seluruh tindakan manusia adalah tindakan alam itu sendiri. Manusia hanya titik
air di dalam samudra luas. Apa pun yang ia lakukan selalu melibatkan seluruh
lautan yang ada.
Demikianlah kesenian, seniman, dan alam. Seni adalah karya seniman,
manifestasi dari penghormatan terhadap alam dan kehidupan, sekaligus refleksi
dari siklus kehidupan manusia dan juga alam. Seni bisa menjadi bagian dari
sebuah ritual—tadi dijelaskan oleh JJ Rizal, bersemayam di dalam istana
penguasa sebagai sarana mengkritik dan mengingatkan, bagian dari kegiatan
keagamaan, juga bisa semata sebagai hiburan. Ondel-ondel, contohnya, ia bagian
dari ritual selepas panen raya, dihadirkan untuk menyambut musim baru sekaligus
mengusir segala hal yang buruk. Perhatikan gerakan ondel-ondel, seperti orang
yang bergerak-gerak menyapu, simbol dari aktivitas membersihkan desa dari
berbagai hal yang buruk untuk menyambut musim yang baru.
Bagaimana dengan kesenian turun ke jalan? Mengapa tidak? Turun ke jalan
bukan cuma ranahnya mahasiswa, buruh, atau demonstran. Sejak dulu pun seni
(termasuk ondel-ondel) memang turun ke jalan—seperti kata JJ Rizal, tetapi
sebagai sebuah peristiwa budaya. Dan ketika ia berubah fungsi dan tujuan semata
urusan perut, pahami sebagai upaya untuk tetap bisa bertahan hidup. Ketika
kesenian kehilangan masyarakat pendukungnya dan bapaknya atau pelindungnya
(negara dan pemimpin bukannya hadir malah ikutan menghilang, bahkan menggusur ruang
publik tempat mereka semestinya tampil secara bermartabat), maka turun ke jalan
menjadi sebuah keniscayaan demi mempertahankan hidup dan mengisi perut semata.
Lambat laun kita pun bisa kehilangan artefak budaya yang di dalamnya mengandung
banyak kearifan budaya bangsa. Kata Ronal, “Kita hanya bisa bengong ‘eh’ jika ‘earth’
kehilangan ‘art’.”
Terakhir, daripada memaki lebih baik mengapresiasi. Kata Mas Jarwo, “Mari
beri ruang agar lestari.” Kata Cak Lontong, “Mari mengemas seni, jangan
mengemis.” Dan belajarlah dari ondel-ondel; jangan berhenti, teruslah bergerak,
teruslah menyapu semua keburukan demi meraih kebaikan di masa depan, itulah
kearifan budaya bangsa. (Maman Suherman)