Kang Maman – Emak-Emak Senggol Bacok
Tenggang rasa telah berubah menjadi tegaan rasa. Orang tak
lagi peduli pada sesama dan bahkan berebut peran menjadi raja atau ratu tega.
Sebagaimana sikap toleran yang kini sering kali berubah
menjadi teleran; menjadi pendekar mabuk yang mudah amuk, beringas, ganas, dan
kehilangan rasa dan nilai kemanusiaan. Mereka sebenarnya tahu pentingnya sabar
dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Tapi di situasi yang—kata Rizky Inggar—ganas
dan panas, otak dibiarkan ikut panas, fisik dibiarkan jadi beringas karena tak
ada yang mau mengalah.
Sabar pun berubah jadi barbar. Di situasi seperti itu, sabar—kata
Mas Jarwo; punya rasa malu—kata Ronal; dan mau mengalah—kata Kiky, menjadi
kunci klasik yang kembali harus jadi pegangan.
Dengan punya rasa malu, takkan ada yang bisa
mempermalukanmu. Dengan mengalah, tak seorang pun bisa mengalahkanmu lagi—sebagaimana
nasihat: merendahlah hingga tak seorang pun merendahkanmu lagi.
Dan kalau membantu, bantulah orang supaya mereka bukan
untuk membalas budi kepada kita, tapi supaya mereka dapat membantu orang lain
lagi. [segmen 2]
***
Dalam transaksi dan tawar-menawar—apalagi kepada orang kecil,
jangan berusaha mengotori langit dengan meludahinya. Karena ludah itu akan
jatuh mengotori wajah kita sendiri.
“Jadilah seperti bunga,” kata Ali bin Abi Thalib, “yang
terus memberikan harumnya, bahkan kepada tangan yang menghancurkannya.”
Apa sih ruginya memberi lebih kepada orang kecil? Memberi
secercah bahagia kepadanya?
Dan di sebuah dunia, di mana kamu bisa jadi apa saja
terhadap siapa pun—termasuk terhadap pedagang kecil, pilihlah menjadi orang
baik. [segmen 4]
***
Menulis notula dari segmen 1 hingga 5, pikiran saya terantuk
pada cerita seorang istri;
Di tengah perjalanan, ada seorang perempuan muda meminta
suamiku untuk memberikan tempat duduknya.
Suamiku segera berdiri dan memberikan tempat duduknya. Ketika
kuperhatikan, ternyata kakinya cacat. Barulah aku tahu kenapa suamiku
memberikan tempat duduknya.
Suamiku terus berdiri sepanjang perjalanan. Setelah
perempuan itu turun sekalipun, ia tetap berdiri dan membiarkan orang duduk di
tempatnya.
Setelah turun dari bus, aku berkata pada suamiku,
“Memberikan tempat duduk pada orang yang butuh memang baik, namun pertengahan
perjalanan, kan kamu boleh memintanya berdiri agar gantian kamu yang duduk?”
Suamiku menjawab, “Orang lain mungkin saja sudah tidak
nyaman seumur hidupnya, aku hanya kurang nyaman selama dua jam.”
Kalau pola pikir kita dapat diubah seperti itu, dunia akan
jauh lebih indah.
Dalam hidup, kita memang kerap dihadapkan pada pilihan,
antara memaksakan hak dan kewajiban. Namun saat kita melepaskan hak dan lebih memilih
memberi, di situlah kebahagiaan akan muncul.
Hidup bukan tentang siapa yang terbaik, tetapi siapa yang
berbuat baik.
Jadi, teruslah berbuat baik. Jika beruntung, kamu akan
menemukan orang baik. Jika tidak, kamu akan ditemukan oleh orang baik. (Maman
Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar