“Semua
tanggal baik,” ujar Darto. Semua angka baik, ganjil maupun genap. Dalam
Al-Qur’an, misalnya, keduanya sama-sama difirmankan-Nya di surah al-Fajr ayat 1
dan 3, “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan (demi) yang genap dan ganjil.”
Jika Allah Subhanahu
wa Ta’ala saja sudah bersumpah dengan sesuatu (demi genap dan ganjil), berarti
menunjukkan kemuliaan dan keagungan sesuatu tersebut.
Jadi, mari
saja kita sambut dan patuhi aturan genap dan ganjil dengan praduga baik, demi
mengurai kemacetan yang—tadi disinggung Kang Denny—sungguh sangat merugikan.
Menurut data
Litbang Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, kerugian akibat kemacetan di
Jakarta saja, 65 triliun per tahun. Belum termasuk kerugian nonekonomi seperti
kondisi psikologis pemakai jalan dan berkurangnya produktivitas masyarakat
akibat kemacetan.
Sekali lagi,
aturan ganjil genap adalah upaya baik. Yang tidak baik, jika perilaku kita
tetap ganjil. Terbiasa menyiasati peraturan dan melanggar aturan itu, saling
ngebut, saling rebut di jalanan dan kehilangan sabar. Ingat, katanya
tergesa-gesa itu bisikan setan. Dan akibat dari bisikan itu, di Indonesia, jalan raya adalah pembunuh terbesar nomor tiga
setelah penyakit jantung koroner dan TBC. 1.000 anak dan remaja tewas di jalan
raya di Indonesia setiap hari.
Jadi, mari
patuhi upaya baik untuk mengurai permasalahan, hadapi aturan ganjil genap tidak
dengan perilaku ganjil berupa penyiasatan dan pelanggaran seenaknya, tegakkan
etika—mulai dari atas sebagai teladan, kata Danang.
Kata
kuncinya ada di kalimat Cici Panda tadi:
Terhadap
semua peraturan apa pun, patuhi, jangan kelabui.
Kesleboran
kita, kecelakaan semua. Kesadaran kita, keselamatan semua. (Maman
Suherman)