Kang Maman – Angkutan Umum vs Taksi
Hidup bak menyetir angkutan kota. Tak peduli berapa penumpang yang
naik-turun, kita harus terus melintas sampai terminal. Tak masalah apakah kita
senang atau tidak dengan salah seorang penumpang, dia pun sama: punya tujuan, meski
tak selalu sama-sama sampai terminal—mungkin turun di penghujung jalan.
Dan saat menyetir, kita tak boleh terus melihat ke belakang karena bisa
menabrak kendaraan di depan. Kepala harus tetap menatap ke depan, tapi
pandangan sesekali harus disapu ke arah belakang lewat kaca spion—sekadar
melihat, sekadar mengingat. Sama seperti hidup, yang tak bisa terus menerus
mengenang masa lalu dan menangisi waktu. Pembelajaran akan apa yang terjadi di
masa lalu harus diingat, tapi tak selalu. Kita harus tetap bergerak
maju.
Hidup pada hakikatnya adalah perjalanan menuju pulang, kembali ke asal.
Dan dalam perjalanan menuju pulang itulah manusia kerap menggunakan “alat
transportasi”—apa pun namanya, apa pun statusnya.
Ingin bersosialisasi dan bosan sendiri, ada angkutan kota, ada bus kota
untuk dinikmati bersama banyak orang lain; angkutan yang menyimpan segudang
cerita dari sekian banyak kepala di dalamnya. Seperti cerita Ronal tadi, “Ingin
menikmati waktu sendiri? Ada taksi.” Anggap saja pak sopir adalah orang asing dan
mobil adalah milik pribadi. Tak perlu mengemudi, menikmati pemandangan jalan sesuka
hati—seperti tuturan Cici Panda. Itulah hidup. Ada kalanya kita butuh berbagi,
ada saatnya kita menikmati berdamai dengan sepi.
Ya, sekali lagi, hidup adalah perjalanan pulang. Dan ada yang bilang,
hidup ini sangat singkat, jaraknya antara semata antara azan dan shalat; saat lahir diazankan, saat wafat di-shalat-kan.
Jadi, pak sopir angkot, pak sopir taksi yang sedang menonton ILK, ingat,
ada orang-orang yang kamu cintai yang menikma yang menantikanmu di
rumah. Juga ada orang-orang di rumah penumpangmu yang menunggu mereka di rumah.
Menyetirlah selalu dengan penuh cinta, dan cintailah orang-orang di sekitarmu.
Jaga keselamatannya, jangan mencelakakannya, agar mereka juga selalu
mencintaimu dan mendoakanmu, seperti dalam puisi Sapardi Djoko Damono: “Aku
mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.”
Angkot atau taksi kuncinya sama: aman, nyaman di jalan, selamat sampai
tujuan. (Maman Suherman)