Kang Maman – Lika-liku Lokalisasi
Di awal, Dicky mengutip Rhoma Irama: Ternyata jalan ke neraka mahal
harganya, harus pakai uang. Walaupun mahal, anehnya banyak yang suka.
Mungkin jijik, iba, sedih, bercampur satu saat membayangkan saat
membaca sebuah buku catatan seorang pengusaha di Kalijodo yang tercecer, bahwa
ada PSK yang melayani pemelacur sampai 14 kali sehari hanya untuk mendapatkan lima
ratus sampai tujuh ratus ribu rupuiah (1 kali melayani hanya Rp50.000).
Bayangkan jika kalian (laki-laki) adalah orang yang kesekian, sementara
yang pertama membawa penyakit menular seksual. Bayangkan (ibu-ibu) jika yang
datang ke sana suami kalian. Bayangkan jika itu didapatkan di tempat yang tidak
dalam pengawasan kesehatan, dan tidak dalam pengawasan pihak keamanan yang
resmi.
Lokalisasi tersirat dalam pernyataan Ronal dan Feni Rose tadi ibarat
sebuah gorong-gorong di sebuah istana megah. Sebuah istana akan selalu terlihat
indah, mewah, dan mewangi jika di lantainya tidak berserakan sampah, tidak
berkeliaran kecoak, tidak merembes air kotor atau air pembuangan. Karenanya,
dibuatlah gorong-gorong di bawah tanah; di sanalah air kotor mengalir, di
sanalah kecoak bebas berkeliaran, di sanalah sampah berserakan. Anda ingin
menjadi bagian darinya? Masuklah ke dalamnya. Dan sampai kapan pun, istana
membutuhkan gorong-gorong itu jika istana itu ingin tetap bersih dan mewangi.
Jadi teringat puisi W.S. Rendra – Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota
Jakarta:
Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
([Dan]) Mereka harus pulihkan derajat kalian
([Karena]) Mereka harus ikut memikul kesalahan
Mengapa kita salah? Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar '45
menyebutkan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.” Jika negara tak sanggup menyediakan, salah
siapa?
Jadi, jika tak bisa membantunya, setidaknya janganlah melukainya dengan
lisanmu, menistainya dengan tatapanmu. Jika cuma bisa memaki, jika cuma bisa
menghina dan menista, tak akan membuat nasibnya berubah, dan juga tak akan
membuat derajat kita naik. Berhenti memaki, apalagi jika ikut menikmati.
Terakhir, saya ingin menutup notulensi ini dengan dua bait dari Kupu-kupu
Malam yang tadi dinyanyikan Denny Chandra. Kupu-kupu malam itu seperti tersirat
dalam surat mereka yang dimunculkan di VT tadi: “Yang dia tahu hanyalah
penyambung nyawa.”
Dan bait kedua; mereka yang datang mungkin anak laki-laki kita, adik
kita, bapak kita, kakek kita, atau suami kita adalah: “Sucikah mereka yang
datang?”
Mari bertanya ke dalam diri masing-masing:
Sucikah mereka yang datang?
Sucikah mereka yang datang?
Sucikah kita? (Maman Suherman)