Kang Maman – Dangdut Heboh vs Dangdut Santai
Sekali-sekali,
hayatilah suara-suara yang dihasilkan alam: gesekan dedaunan yang bergerak
ditiup angin, gemericik air mengalir, suara ombak, tiupan angin, bahkan gemuruh
heboh hujan yang ditimpa cetar halilintar, juga kicauan burung dan suara-suara
binatang lainnya. Sungguh merupakan nada-nada indah yang mengiringi perjalanan
alam ini.
Bila
suara-suara itu terjalin satu, ia menjadi harmoni indah, kidung alam yang
syahdu untuk didengarkan, lalu bisa disenandungkan anak manusia untuk menghiasi
dan mewarnai hidupnya.
Sebuah
orkestrasi alam yang kemudian direspons manusia, dan dijadikan tembang indah
untuk menemani perjalanan hidup. Sebuah ungkapan kejujuran yang dipintal oleh
benang-benang keindahan, yang dibahasakan oleh nada-nada yang liris, lembut
mengalun membuai jiwa, atau keras mengentak dan mengajak tubuh bergoyang riang.
Dangdut
adalah salah satu perwujudannya. Diramu, diracik, dirawat, tumbuh dan besar di
negeri ini, warna musik yang mengawinkan entakan tabla berbunyi “dang-dut-dang-dut”
yang dinamis, dan tiupan seruling nan merdu merayu.
Dan
sebagaimana bahasa alam, tidak ada yang baik atau buruk, yang ada hanyalah
persoalan cocok atau tidak cocok. “Saya cocok dengan dangdut, kamu tidak; Saya
senang dangdut yang lembut, kamu suka dangdut yang bergoyang mengentak.”
Kuncinya cuma satu: Dangdut dengan 3D-nya (didengar, dilihat, dan digoyang)
adalah bahasa abstrak, sebagaimana jenis musik lainnya yang mampu menggerakkan
emosi.
Dan sebagai
karya seni, dangdut punya nilai estetika sendiri. Dan ‘estetika’ lebih dekat
dan bersaudara kandung dengan ‘etika’, bukan dengan ‘erotis’, bukan dengan ‘erotika’.
Dan sekali
lagi, goyang mengentak atau lembut mengalun, teriakkan selalu tiga kata: DANGDUT
NEVER DIES! (Maman Suherman)