Kang Maman – Merdeka
Insya Allah, Maret tahun depan, jika berhasil mencapai
puncak Everest, Mathilda dan Fransiska Dimitri akan menjadi perempuan-perempuan
Indonesia pertama yang berhasil menancapkan
Merah Putih, memainkan angklung di tujuh puncak tertinggi di benuanya
masing-masing. Sosok-sosok pahlawan masa kini.
Berkaitan dengan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 2017, muncul
pertanyaan, “Semata itukah jalan menuju pahlawan dan kepahlawanan?”
Meski kita semua yakin, Matilda dan Didi tak hendak dipahlawankan
dengan keberhasilannya itu.
Lalu teringat kisah penaklukan Everest, 29 Mei '53, jam
11:30. Edmund Hillary menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak
Everest dan mendapat gelar “Sir” dari ratu Inggris. Ia disebut orang pertama,
padahal semestinya bukan dia, tapi Tenzing Norgay—sherpa yang berjalan di depannya yang lebih pantas disebut orang
pertama.
Ketika diwawancara, “Bukankah kamu lebih pantas untuk pertama
kali berada di puncak?” Tenzing menjawab satu, “Betul sekali. Tapi pada saat
tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan Edmund Hillary menjejakkan
kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak.”
Dia melakukan itu, kata Norgay, karena itu adalah impian Edmund
Hillary, bukan impian saya. “Impian saya sederhana, hanya membantu orang untuk
mencapai impiannya.”
Moral ceritanya jelas, seseorang bisa berhasil karena ada
orang lain di sekitarnya. Ibarat pepatah: “Bila hendak menjadi pahlawan, harus
ada yang bertepuk tangan di tepi jalan yang dilalui.”
Di dunia ini, tidak semua orang harus menjadi Edmund
Hillary. Ada orang-orang yang berbahagia cukup dengan memberikan pelayanan,
membantu orang lain mencapai impiannya.
Jadi, pahlawan adalah juga sosok-sosok di belakang layar,
yang membuat seseorang (membuat negeri ini) bisa mencapai sesuatu (meraih
puncak).
Pahlawan, tak terlihat tapi mewujudkan mimpi dan harapan.
[segmen 2]
***
Sedemikian sulitkah untuk menggoreskan kata, sikap, dan
perilaku kebajikan dan kepahlawanan dalam perjalanan hidup ini?
Haruskah menunggu hebat dan sempurna untuk bisa menjadi
pahlawan bagi negeri ini?
Asri Welas mengajarkan, “Tidak!” Bung Tomo menginsidi bukan
seorang ideolog, tapi dia pahlawan. Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir [ejaan
lama: Sjahrir], tidak bertempur di atas pelana kuda perang, tapi dia pahlawan.
Jenderal Soedirman [EYD: Sudirman] bukan cendikiawan lulusan Belanda, tapi dia
pahlawan. Pattimura, Cut Nyak Dhien [ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien], jauh dari
Batavia (tempat negeri ini diproklamasikan), tapi dia pahlawan.
Jadi, tak harus sempurna untuk bisa menjadi pahlawan bagi
sesama dan bagi negeri ini. Dan setiap dari kita bisa menjadi pahlawan bagi
negeri ini.
Simak lagu indah “Bendera”, misalnya: Tak harus
sehebat mentari untuk menghangatkan, tak harus setegar batu karang untuk
bisa melindungi, tak harus seharum mawar untuk bisa mengharumkan, dan
tak mesti seelok sore untuk bisa mengindahkan—bagi sesama dan negeri
cinta, dan terus menjaga kehormatan bangsa.
Dalam bahasa Iwan Fals, tadi dinyanyikan oleh L2:
Pahlawan itu sederhana, kok. Jangan jadi kutu-kutu pengisap
darah di sayap Garuda, jangan jadi benalu di tiang bendera.
Pahlawan adalah dia yang memberi apa yang dia punyai. Dan tekan
Ronal tadi, apa pun yang menjadi kekhasan Indonesia
di video-video tadi, jangan pernah malu untuk menjadi Indonesia, juga jangan pernah lupa untuk terus menjaga dan
mencintai negeri tercinta.
Tidak bhinneka bukan Indonesia.
(Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar