Kang Maman – Rambu-Rambu Rancu
Seorang dosen filsafat mengatakan, ada enam sesat pikir yang membuat
sebuah bangsa tidak maju. Salah satunya tidak patuh aturan, bahkan bangga kalau
melanggar. Jadi selama ‘P’ atau ‘S coret’ saja masih tidak dipahami dan
dilanggar (masih sesat pikir), kapan negeri ini akan maju?
Poin yang kedua, kalau sudah berani nyetir,
artinya sudah lulus ujian dan mendapatkan SIM—karena itu persyaratan utama—jadi
semestinya pengemudi sudah paham dan patuh apa yang disebut Pak Chryshnanda
tadi, “Ada yang namanya rambu peringatan dengan latar warna kuning, rambu
larangan dengan latar putih, rambu perintah yang bundar berwarna biru, termasuk
rambu petunjuk, rambu tambahan, bahkan rambu nomor rute jalan.”
Meski juga para aparat harus menyadari, masih ada rambu yang tidak menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal,
salah satu ciri negara maju, cara bertutur dan berkomunikasi warganya sudah
baik. Contoh sederhana, markah dengan tulisan “BELOK KIRI JALAN TERUS”. Ini
rancu: belok kiri, tapi disuruh jalan
terus? Padahal bahasa yang paling sederhana dan paling benar adalah: “BELOK
KIRI LANGSUNG”.
Yang ketiga, menurut WHO, kecelakaan lalu lintas itu pembunuh nomor
tiga di Indonesia setelah jantung koroner dan
TBC. Tahun 2012 ada 109.038 kecelakaan, dan 27.441 orang tewas dalam
setahun—atau tadi kata Pak Chryshnanda betul, “75 orang tewas setiap hari atau
3 orang meninggal dalam satu jam.”
Kesimpulannya, satu pesan sederhana Cak Lontong tadi, “Pengemudi cerdas
tidak menjalankan dua tugas dalam waktu bersamaan. Misalnya, nyetir sekaligus jadi operator telepon.”
Pengemudi yang baik tugasnya hanya satu: mengemudi. Jangan terburu-buru, jadilah
pengemudi yang bermutu yang berprinsip dan menjalankan satu budaya: “Kepedulian
kita, kesadaran kita, keselamatan semua.” (Maman Suherman)