Kang Maman – Komersial vs Idealis
Major label atau Indie, major label versus indie,
sering didikotomikan sebagai band
yang bernaung di bawah label besar (industri mapan), versus band yang berbasis pada Do It Yourself; merekam,
mendistribusikan, dan promosi dengan uang sendiri. Jadi, yang beda adalah
industrinya, bukan sebuah paradoks komersial versus idealis.
Dan indie bukan fenomena baru.
Tahun 1976 sudah ada Guruh Gipsy,
yang oleh banyak pengamat musik disebut album indie pertama Indonesia. Dan
kemudian, Pas Band mempopulerkannya kembali pada tahun 1993, dengan 5.000 kopi
albumnya yang ludes terjual.
Dan sebelum itu, aliran indie
disebut band underground. Kalau Koes
Plus langsung dikontrak label Remaco, berbeda dengan God Bless di Jakarta, AKA
[Apotik Kali Asin] di Surabaya, Giant Step dan Superkidz di Bandung, atau
Bentoel di Malang, dan Terncem di Solo yang underground.
Tetapi yang pasti, indie atau
major label, lagu-lagu mereka adalah
karya seni; produk olah pikir yang sama-sama bermuara di hati. Bagindas,
misalnya, lewat lagu Di Hatiku Ada Namamu
ada lirik:
“Bila saja engkau tahu
di hatiku ada kamu
di hatiku ada kamu
Bila saja kau mengerti
tiap waktu ada kamu
Aku tak bisa dustai hatiku
Untuk munafiki semua rasaku”
Sementara Sore lewat lagu Aku
bertutur:
“Ku merenung, ku merenung
kenali hati
Ku melaju, ku melaju
menyelami hati”
Jadi, sekali lagi, karya seni—termasuk lagu—ukurannya bukan semata-mata
materi, tapi hati. Harus merasuk ke
hati pendengarnya, dan yang lebih utama: harus memuaskan hati penciptanya dan
pelantunnya sendiri.
Jadi, kunci seni adalah satu: hati. Dan tak perlu mempertentangkan
hati, sebagaimana tak perlu mempertentangkan selera. Yang harus ditentang dan
dilibas bersama satu: PEMBAJAKAN! (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar