Re:, wanita yang harus menelan pahitnya
hidup dengan menjadi pekerja seks. Bukan inginnya. Bukan pula cita-citanya. PeRempuan yang sejatinya mampu menikmati
anugerah diciptakan sebagai wanita, harus tergilas tuntunan kehidupan.
Menyelami
kehidupan Re:, membawa saya pada rasa syukur yang amat dalam: Tuhan masih memberi
saya kenikmatan luar biasa. Seberapa pelik kehidupan manusia secara umum, lebih
lagi pada Re: dengan pekerjaannya yang akan selalu dipandang sebelah mata. Seburuk-buruknya
manusia, selalu ada bisikan hati nurani yang tak pernah salah. Begitu juga dalam
diri Re:.
Kupikir, Re:
tak sendiri. Banyak wanita di luar sana yang menangis merintih ingin “bebas”. Tapi
tak mudah. Setan terlalu pintar. Setan? Ya, usahanya membuat Re: selalu merasa
terpuruk sangat halus. Bahkan tak tertulis pena. Tapi aku iri pada Re: yang
punya semangat untuk membahagiakan buah hatinya. Aku tahu bagaimana rindu dan
inginnya memeluk buah hatinya :(
Aku bisa
merasakan perang batin yang berkecamuk dalam dadamu, Re:! Rasa dan harap yang
selalu ingin bahagia tapi terpasung realita. Tak usah mencela Re: dengan apa yang
dikerjakannya. Setidaknya dia tahu itu salah. Beda dengan kita yang (mungkin)
merasa selalu suci.
Ketika baca
kisah Re:, coba berkaca sudah seperti apa perjuangan kita dalam menaklukkan
hidup yang keras ini.
*istirahatlah,
Re:*
Terima kasih,
Om Maman Suherman, untuk bacaan yang bermanfaat. Ada jalan untuk merenung dan
terus bersyukur.
* Diambil
dari kultwit @amma_chemist pada 04:51 –
05:12, 2 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar