Kang Maman – Potensi Anak Bangsa
Seorang teman pernah bertutur dengan nada geram, dengan bibir bergetar,
dan sedih bercampur marah, “Negara ini sudah gawat darurat dalam berbahasa Indonesia! Ayo kita bikin hashtag: #SelamatkanBahasaIndonesia!”
Orang tua begitu bangga di tempat-tempat umum mengajak anak-cucunya
berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.
Seolah sedari dini balitanya sudah disiapkan untuk tidak boleh kalah di era MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean), dan tidak percaya bahwa berbahasa Indonesia bisa menjadi modal besar dan berharga bagi masa
depan anak-cucu mereka.
Tidakkah pernah mereka sedikit saja bertanya: Mengapa Perancis, Jepang,
begitu maju dan tetap bangga dengan bahasanya—dan dengan budayanya?
Bahkan mantan Mendikbud, M. Nuh, pernah bertanya dengan sangat prihatin,
bahwa di lembaga pendidikan lama, di kurikulum lama, pelajaran bahasa Indonesia bahkan cuma dua jam, dan pelajaran bahasa
Inggris empat jam.
Rupanya peribahasa ‘rumput tetangga lebih hijau daripada rumput halaman
sendiri’ masih sedemikian berlaku di negeri ini. Bahkan masih menjadi-jadi dan
menyedihkan, karena “gajah” di dalam negeri yang begitu berpotensi tidak
tampak, sementara “semut” kecil di seberang lautan terlihat terang benderang.
Di sisi lain, kita semua percaya, bergantung pada orang lain tidak lebih
baik daripada menggantungkan diri pada potensi sendiri. Dan, terlalu terpesona
pada hal asing, bisa membuat seseorang terasing di negeri sendiri dan asing
pada potensi negeri sendiri.
Kepada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu di eksekutif dan legislatif, Kang Ronal,
Cak Lontong, dengan satire menyindir, apakah kita harus melengkapi Pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Dasar yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara,” ditambah dengan kalimat: “Kaya prestasi dan anak
berpotensi dipelihara oleh negara”?
Dan terakhir, mari kita memilih: Mau terus takluk pada asing,
atau menjadi singa dunia? (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar