Kang Maman – Dolar Makin Melar
Kodrat kurs mata uang itu cuma tiga; mengalami penaikan, stabil, atau
penurunan. “Jadi, kenapa mesti ditakuti?” Begitu yang tersirat maupun tersurat
dari pernyataan para panelis. Kalaupun ada yang perlu ditakuti atau memang
harus (sangat) ditakuti, tersirat dari pernyataan Cak Lontong dan diperkuat
oleh Ronal, “Adalah jika mental kita sebagai bangsa yang tidak stabil—bahkan
melemah, menukik ke titik terendah, tidak punya semangat untuk bangkit, tidak
berdaulat secara politik, tidak berdikari secara ekonomi, dan tidak punya
kepribadian sebagai bangsa.”
Dan untuk itu, kita perlu memahami makna filosofis dari mata uang kita
sendiri, rupiah. Mengapa seribu rupiah bergambar Pattimura memegang alat dan
senjata berbentuk golok? Agar jika yang baru kita bisa raih cuma sekumpulan
uang seribuan, itu berarti kita masih harus terus bekerja keras, menggunakan
segala daya dan alat yang ada agar penghasilan meningkat dan tidak boros, berupaya
keras, dan tetap bersabar.
Tetapi bagi mereka yang sudah mengumpulkan gepokan ratusan ribuan,
lihat gambarnya: dua proklamator yang mengajarkan kita untuk berdikari,
menggunakan kopiah dan peci; simbol orang yang pergi beribadah, pergi ke tempat
sosial.
Jika kamu sudah berpunya, perbanyak syukur dan perbanyak sedekah dan
tidak menghamburkannya di tempat-tempat yang tidak perlu untuk sesuatu yang
tidak perlu. Dan jangan dibalik. Ketika ke tempat ibadah hanya rela memasukkan
donasi seribu rupiah—itu pun dengan berat hati—tapi kalau ke pasar, malah rela berboros-boros mengumbar ratusan ribuan
hanya untuk berbangga membeli produk luar negeri.
Jika itu terjadi, persis kekhawatiran Bung Karno, “Akan membuatmu
kehilangan kepribadian, dan terancam untuk tidak berdaulat dan berdikari.”
Tetapi jika tidak salah tempat, seribuan di pasar, seratusan ribuan di tempat
ibadah, maka negeri ini akan lebih makmur dan terberkati, tidak terjerat pada
situasi dan kondisi “dolar bikin modar, dan rupiah cuma bikin resah.”
Negeri ini terlalu kaya hanya untuk memproduksi keluh, tetapi lupa untuk memproduksi peluh bagi kemakmuran negeri sendiri. (Maman Suherman)
Negeri ini terlalu kaya hanya untuk memproduksi keluh, tetapi lupa untuk memproduksi peluh bagi kemakmuran negeri sendiri. (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar