Atas nama MORAL, sejumlah lokalisasi “resmi” ditutup, “rata dengan tanah”. Sementara di depan mata, kita tetap dengan mudah mendapatkan layanan berahi di berbagai tempat, lokalisasi “tidak resmi” berselubung ragam nama. Tak cuma pramuseks lokal, tapi berbagai bangsa pun bisa dicicipi mulai dari Rp1,3 juta sampai Rp4-5 juta short time. Lalu kita semua tiba-tiba merasa aneh dan berubah jadi “suci”, pura-pura kaget saat prostitusi online diungkap. Plis deh ah...
Sejak sebelum
era kebebasan media, pra 1998, daftar nama seleb yang disebut-sebut menjajakan
diri sudah tersebar dalam bentuk fotokopian. Lebih banyak bohongnya, lebih
banyak sensasinya, dan sengaja disebar untuk makin memunculkan rasa “ingin”.
Saat menjadi
jurnalis media wanita, saya pernah menghubungi penyebar daftar nama itu, dan mereka
meyakinkan diri semuanya memang bisa “dipake”.
Tapi kalau kita menanyakan beberapa nama, jawabannya selalu ngeles, “Aduh dia lagi di-booking,” begitu seterusnya.... Lalu dia
pun menawarkan sejumlah nama lain, yang katanya juga berstatus “artis”. Usut
punya usut (sudah saya ungkap di buku saya: Bokis dan Bokis 2, juga di novel Re: terbitan @penerbitkpg) itu ada
polanya. Jadi, sejumlah pramuseks sengaja disisipkan ke sinetron atau film layar
lebar. Entah sebagai figuran asal lewat, atau dapat 1-2 scene, dialog. Mereka ditawarkan muncikari/germonya, tak perlu
dibayar, bahkan yang meloloskannya dapat bonus tidur dengan pramuseks itu. Bagi
mereka, yang penting “anak binaannya” muncul di layar kaca atau di layar lebar,
lalu mereka edit gambar itu dan dikumpulkan.
Gambar-gambarnya
itulah yang ditawarkan kepada pemelacur/konsumen sebagai bukti kalau “anak
binaannya” adalah artis. Dan dengan demikian, harga penawaran pun menjadi naik
berlipat-lipat ganda. Demikianlah pola yang berulang tetap hingga kini. Harga
menjulang, dari Rp800.000, naik 1,5 juta, dan seorang narsum saya, minta Rp4
juta short time dengan alasan sudah
muncul 5 kali di layar TV. Dan ketika “dikulik-kulik” kemunculannya bukan sebagai
artis dengan A besar, ya figuran, juga bintang tamu reality show.... Lalu sekarang semua jadi merasa suci, pura-pura
kaget seolah fenomena pelacuran online
muncul dari langit, plisssss....
Setelah era
kebebasan pers '99, media ditumpangi penumpang gelap. Sejumlah media di iklan
mininya terang-terangan menawarkan jasa pelacuran. Di iklan mini itu lengkap dengan
bentuk pelayanan yang ditawarkan, harga hingga nomor telepon pramuseksnya. Dan online telah menjadi “lokalisasi
terbesar di dunia” tanpa sekat tanpa “batas wilayah”. Untuk naikkan harga
pramuseks cukup diberi label: mahasiswa/mahasiswi, masih SMA, baru lepas
perawan, jualan karena BU (Butuh Uang) semata. Jadi, bukan semata dikemas dalam
status artis, bintang film, DJ atas segala profesi yang disoroti gemerlap lampu
semata. Pertanyaan sederhana, mengapa “pasar syahwat” itu marak? Tentu ada
penawaran karena ada permintaan.
Kalau rantai
permintaannya tidak ikut diungkap, pemelacurnya/konsumennya diperlakukan beda
dengan pramuseksnya, sama juga “bohong”. Saya malah berpendapat, kalau sekadar
ingin cari sensasi dan “ledakan”, ungkap pelakunya lebih heboh dari sekadar
ingin tahu siapa sebenarnya AA. Itu betul-betul seperti yang terungkap dalam
puisi WS Rendra, Bersatulah
Pelacur-Pelacur....
Ketika dahulu
bekerja di rumah produksi/agensi dan ikut tender KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Kementerian, fenomena ini meraja. Permintaan dan penawaran
pramuseks kerap mewarnai penawaran calon pemenang, dan kita memperhalusnya dengan
istilah pelakunya: oknum. Jadi, jangan-jangan angka Rp80-200 juta sekali
pelayanan itu, berasal dari uang rakyat, dari proyek tender.... Karenanya, saya
berpendapat, akan jauh lebih sensasional kalau kita akhirnya tahu dan bisa
diungkap siapa-siapa konsumen-konsumen mereka...
Saya jadi
teringat seorang ibu yang menawarkan anak gadisnya kepada saya hanya agar bisa
diselipkan dalam sinetron yang saya produksi juga di majalah saya. Ibu itu dengan
dingin berujar, “Pak, saya tinggalkan anak saya, terserah mau diapain aja, asal dia diajak main di sinetron yang Bapak buat.” Dan ketika
ibunya pergi, sang anak bercerita bahwa saya bukan orang pertama yang
ditawarkan oleh ibunya. Siapa saja? Sejumlah nama orang-orang “baik” dan “suci”
di mata masyarakat pun meluncur dari mulut gadis 15-an tahun itu...
Hipokritas
kita sedang diuji lagi dengan pura-pura kaget mengetahui terungkapnya pelacuran
online. Selamat hari Selasa, semoga
makan siang nama-nama yang ada di gadget
muncikari yang tertangkap itu tetap bisa lunch
dengan nyaman.
Oh iya, sudahkah
kita melacurkan diri dan profesi kita demi lembar-lemar rupiah bahkan dolar?
Ketika saya
meluncurkan novel Re: yang berbasis
kisah nyata, orang bertanya, itu kejadian tahun kapan? Saya jawab,
1987-1989.... Orang-orang pun kaget dan nanya
lagi, tahun segitu sudah ada? Kenapa
mereka kaget? Karena novel Re: saya
angkat dari skripsi saya: Pola Pemerasan Dalam Kepelacuran Lesbian di Jakarta
Pusat 1987-1989 dan saya turun lapangan 2 tahun.
2 tahun
menyelinap dalam “sindikat” pelacuran, membuat saya bertemu banyak pelanggan dengan
“nama besar”, orang “baik” dan “suci” di mata publik. Jadi kalau ada yang “cuci
tangan” dengan fenomena ini.... Saya kadang-kadang cuma bisa membatin.... Cuma
ingat 1 ajaran:
Rahasiakanlah
amal-amal baikmu,
Sebagaimana
Kamu
Merahasiakan
dosa-dosamu...
Terhadap
para pramuseks, saya ingat twit
sahabat saya, @wilsonsitorus : Kita tak ada di masa lalu mereka, tak layak
menghakimi masa kini mereka. Kata Ebiet G. Ade, “Tengoklah ke dalam sebelum
bicara, singkirkan debu yang masih melekat....”
Terima kasih
sudah mau ditebarin sampah di timeline kalian.... Oh iya, Bokis itu juga bisa berarti: BOtaK tapI
Seksi...
Wallahu a‘lam..
* Diambil
dari kultwit @maman1965 pada