Kang Maman – Dewasa Sebelum Waktunya
Ayah dan ibu adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Di pelukan dan pangkuan ayah bundalah semestinya anak pertama kali belajar,
merasa, berpikir, dan berbicara.
Jika kedua orang tua kita berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia dalam
lisan dan perbuatan, insya Allah demikian pula anak-anaknya. Bukankah leluhur
mengajarkan, “Buah tak jatuh jauh dari
pohonnya.” “Air cucuran atap jatuhnya
ke pelimbahan juga.” Dan sebagai orang tua, mesti selalu mengingat, “Anak polah bapa kepradah (Apa yang
dilakukan anak, orang tua pun terkena imbasnya).” Baik berimbas baik, buruk
berimbas buruk.
Terkenang saya pada nama seorang ibu panutan: Raden Adjeng Kartini, yang dalam salah satu penutup suratnya memperkenalkan diri: Panggil aku Kartini saja. Meski di eranya,
di saat feodalisme masih mencengkeram kukuh, ini permintaan yang tergolong tak
lazim. Kartini mendobrak tradisi dan ingin menunjukkan bahwa semua orang pada
dasarnya sama; setara, tak dibedakan oleh pangkat, jabatan, gelar, atau
kebangsawanan.
Panggil aku Kartini saja, sepenggal
nama penuh makna. Di dalam nama ‘Kartini’, perempuan yang wafat empat hari
setelah melahirkan anak pertamanya, ada kata (k)ARTI(ni).
Meski hidup tak panjang, manusia bisa menjadi sosok panutan. Bukan cuma
panutan untuk anaknya, tapi untuk bangsanya jika ia memiliki arti bagi
sesamanya, berguna dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dan panutan itu adalah
sosok yang mencerahkan, sosok yang bisa menjadi cahaya bagi sekitarnya meski
ia cuma kerlip lilin di malam gelap, lalu mati demi menerangi sekelilingnya.
Jadi, panutan adalah sosok yang punya arti, sosok yang berguna, yang
bisa membawa kita dari gelap menuju cahaya, enlightenment
(menjadi suluh; api; pijar; dan cahaya yang menerangi), minadzhulumati ilannur, habis gelap terbitlah terang.
Negeriku, selamat Hari Kartini, dan mari menjadi nur (cahaya) panutan
bagi negeri ini. (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar