Kang Maman – Waktu Indonesia Bagian Timur
Di Fakfak, Papua Barat, ada filosofi ‘Tiga batu satu tungku’. Itu
prinsip untuk menjaga keseimbangan hidup dan kebersamaan hidup; untuk menjaga
keseimbangan dan harmoni antara adat, pemerintahan, dan agama.
Lalu di Makassar, kita kenal prinsip ‘Sipakatau’: Kita harus memandang
manusia sebagai manusia seutuhnya, tanpa membedakan latar belakang. Dan ada
prinsip ‘Pacce’. Pacce itu perasaan belas kasihan kepada orang yang menderita tanpa
perlu melihat dari mana asal sukunya; kita sama rata, sama rasa.
Nah, tadi sudah disinggung: Kita mungkin dari timur, logat kita (cara
kita bicara), kulit kita mungkin berbeda, tapi ada prinsip orang Ambon yang
sangat menarik, dia bilangnya begini, “Parsis
macang pohong sagu; tarbae di luar, tapi barsih di dalang.” Jadi, mungkin
kami seperti pohon sagu; dari depan mungkin tampak kurang elok, hitam, berduri—mungkin menakutkan—tapi percayalah, hati kami putih dan suci seperi buah sagu.
Kemudian, dalam soal kebersamaan, mereka selalu bilang, “Sagu salempeng patah dua.” Kalau kita sudah
bersaudara, kita bagi rata sama-sama; tidak
ada perbedaan satu sama lain.
Jadi, dari Sabang sampai Merauke, dari barat sampai timur, dari Miangas
sampai pulau Rote, dari utara sampai selatan, ada satu kalimat yang menarik
dari Papua dan dari Ambon, “Ale rasa beta
rasa, kita basudara.” Sama rasa, sama rata, saling suka, saling cinta dalam
satu ikatan. Ale Indonesia, beta Indonesia,
kita semua Indonesia pusaka. Ewako! (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar