Kang Maman – Mubazir
Entah mengapa, begitu banyak bertebaran peribahasa, kiasan, dan tamsil di negeri ini, yang ingatkan kita untuk tidak melakukan perbuatan sia-sia:
Menggarami air di lautan, menunjukkan ilmu kepada orang yang menetak (tidak
peduli), menunggu lautan kering, menggantang asap, menggantang anak ayam,
menghasta kain sarung, menunggu angin lalu, menjaring angin, menanam mumbang,
menanam biji [di] atas batu, menangkap bayang-bayang, ibarat menyurat di atas
air. Itu baru sebagian.
Teringat kisah di tempat pesta [per]nikahan, di mana semua orang
memperlihatkan wajah bahagia, kecuali satu kelompok yang bersedih: pencuci
piring. Mereka bersedih membayangkan andai piring-piring itu kosong melompong,
tidak dipenuhi makanan sisa yang diambil tapi tidak dimakan, mungkin anak-anak
mereka di rumah bisa ikut berbahagia. Mungkin ratusan yatim akan bersujud
syukur, meski tak hadir, tapi bisa ikut dikirimi makanan pesta. Tak terbuang
sia-sia, masuk ke tempat sampah.
Jadi, alangkah indahnya jika di undangan dan tempat pesta, tak cukup ada
kalimat “Mohon doa restu”, tetapi juga “Terima kasih untuk tidak mubazir”.
Apalagi kita tahu perbuatan sia-sia dilarang agama. “Beruntunglah orang
beriman, yang khusyuk dalam salatnya,
dan menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia.” (Al-Mu’minuun: 1 dan 3)
Intinya, mubazir sepertinya tidak merugikan, tapi bermanfaat bila tidak
dilakukan, berguna bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Di awal segmen, Kang Denny selalu mengatakan, “Ayo
kita berpikir!” Karena, orang yang berpikir, tidak akan kikir, tapi juga tidak
akan melakukan perbuatan mubazir. (Maman Suherman)
***
“Jika engkau berbuat mubazir, maka hasil yang kau petik adalah sesak di
akhir. Bertindak mutakhir tak harus dengan mubazir, namun bisa berguru pada kesederhanaan
seorang musafir; mengutamakan pikir, dan senantiasa bertakbir.” – Jarwo Kwat #JarwoQuote
0 komentar:
Posting Komentar