Kang Maman – Sayang Anak - Sayang Anak
Dari tanya jawab ibu,
bapak, anak, juga dengan Cak Lontong tadi, terbukti anak-anak itu cerdas,
bahkan memberi banyak kejutan yang kita sendiri belum tentu bisa
menjelaskannya.
Karena mereka cerdas—tersirat
dari pemaparan Meisya saat anaknya menanyakan tentang kolom seks di formulir, dari
Wendi tentang anaknya yang menanyakan soal anting yang dipakainya, atau dari
pertanyaan Alika pada Cipan tentang Pak Ahok—izinkan anak belajar menyelesaikan
masalahnya sendiri. Sebagai orang tua, kita jangan memainkan semua peran—seolah
kita anggota tim SAR, dan anak selalu dalam situasi SOS dan butuh diselamatkan.
Anak ngeluh sedikit, sini ayah bantu. Anak telat sedikit mengerjakan
sesuatu—seperti menutup rapat botol minuman, menyiapkan kotak makanan, memasang
tali sepatu, memakai baju seragam, menyisir rambut, atau mengancingi baju—kita
bergegas, sini ibu saja yang kerjain.
Padahal bisa jadi bukan anak yang bermasalah. Tapi karena orang tua yang ribut dan
terbelenggu oleh waktu.
Teringat ada satu jenis kecerdasan
yang jauh lebih penting dari IQ untuk menghadapi masalah sehari-hari. Kalau
demi anak kita siap menghabiskan waktu, perhatian, dan uang untuk IQ mereka, mari
juga habiskan hal yang sama untuk AQ (Adversity
Quotient), yang menurut Paul G. Stoltz, “Kecerdasan menghadapi kesulitan
atau hambatan dalam kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan
tantangan yang dialami.”
Bolehkan anak mengalami
kesusahan, bahkan dengan sedikit luka, sedikit tangis, sedikit kecewa, sedikit
telat, maupun sedikit kehujanan.
Tahan lidah, tangan, dan
hati kita demi mengajarkan mereka cara menghadapi dan menangani frustrasinya
sendiri. Tadi tersirat dari kalimat Kang Denny di segmen pertama:
Percayalah, permata baru bersinar cemerlang
setelah melewati tekanan dan tahap pemolesan diri dengan sangat baik. [segmen 2]
***
Dalam soal keberagaman, mari sampaikan pada
anak-anak kita:
Nak, mengapa
lengkung pelangi begitu indah? Karena pelangi berwarna-warni.
Dan:
Nak, Allah
menciptakan bumi dan seisinya, juga menciptakan manusia berkelir
(berwarna-warni), dan mengasihi semua warna, dan tidak
pernah membedakannya satu sama lain. [segmen
4]
***
Sedari awal, melihat anak-anak sahabat saya
se… ini, saya jadi teringat putri saya yang sekarang sengaja mengambil cuti
kuliah untuk kembali mondok dan
menamatkan hafalan Al-Qur’an 30 juznya. (Salam dan doa saya untukmu, Nak)
Cara belajar laki-laki dan perempuan, harus
diakui berbeda. Juga cara membesarkannya pun berbeda. Tetapi tidak ada satu
yang lebih tinggi dari yang lain. Harus setara. Karena pada anak laki, agama
mengajarkan kita untuk menjadikan mereka qawwam
(pemimpin)
keluarga yang penyayang dan bertanggung jawab. Sedang pada anak perempuan, kita
ingin hasilkan sebuah sekolah kehidupan pertama untuk generasi mendatang. Dan
hal ini bisa dilakukan, jika ada kerja sama yang baik antara ibu dan ayah.
Juga sedari awal kita diajarkan, ada
keterkaitan antara al-haya’ (malu) dengan al-hayah—al-hayah (hidup).
Jadi, sedari
dini, mari ajarkan malu pada anak-anak kita, karena rasa
malu adalah ciri manusia beriman. Apabila anak sudah dilindungi perisai malu
dari rumah, insya Allah akan lebih selamat dari ancaman lingungan yang makin
tidak tahu malu—tersirat dari penjelasan Ronal di
segmen 3 tadi.
Ibu dan ayah yang baik, semoga kita selalu
diberi kemampuan bersyukur karena telah mendapatkan karunia berupa anak-anak,
meski kerap mereka mencoba menguji kesabaran kita—seperti kata Kang Denny. Dan
semoga kita semua dipermudah untuk memperbaiki diri, dan bisa menjadi sekolah
jiwa paling pertama dan utama bagi anak-anak kita.
Terakhir:
Semoga anak-anak kita tidak ada seorang pun
yang bercita-cita menjadi handphone.
Karena kita lebih sering menyentuh dan menggenggam HP, daripada mengelus dan
memeluk anak-anak kita. (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar