Kang Maman – Pacar Matre
Jujur saja, akankah kalian memilih pasangan yang tidak punya masa depan,
atau tidak punya matre sama sekali?
Bukankah kita kerap mendengar orang bilang dengan nyinyir, “Makan tuh cinta!”?
Namun jika tetap yakin untuk melangkah, pasti karena sebuah alasan yang
juga kuat: bahwa sosok yang dicinta itu punya masa depan yang orang lain
mungkin belum atau tidak melihat, tetapi dengan sepenuh cinta, saya bisa
melihatnya.
Namun sekali lagi, jika akhirnya kelak harus berhenti di tengah jalan,
jangan sesali masa lalu. Yang matre
bisa berpisah, yang tidak matre pun
tidak sedikit yang bercerai—tadi kata Jojo [Joshua Suherman] seperti itu.
Perpisahan bukan berarti semata karena pasangannya jahat atau tidak
berpunya. Tetapi perpisahan terjadi harus dimaknai sebagai: “Bagian dia sudah
selesai dalam perjalanan asmaraku, dan saya tidak boleh selesai.”
Toh yang namanya perjumpaan itu bukanlah sebuah pertemuan dengan
seseorang yang akan meninggalkan kita. Tetapi perjumpaan yang sejati adalah
bertemu dengan orang yang akan selalu tegar berdiri di sisi kita dalam suka
maupun dalam perih luka, di saat berada maupun kurang berada.
Terakhir, seperti paparan Cak Lontong, “Jangan pernah menyesali
penghasilan pasangan, tetapi sesalilah pengeluaranmu yang melebihi
penghasilannya.”
Dan kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang kaya akan memborongnya
dan kita akan sulit untuk mendapatkannya. Dan kalau kebahagiaan hanya ada di
satu tempat, pasti belahan lain bumi akan kosong karena semuanya akan berkumpul
di sana. Untungnya, kebahagiaan itu hanya ada di satu matre (di satu benda): hati yang penuh kasih, bukan hati yang
dipenuhi transaksi (kamu kasih, baru aku sayang).
Ada satu lagi. Buat yang dalam perjalanan hidupnya makin kaya, makin
banyak matre-nya, ingat kata orang Jawa:
“Dadi manten kuwi seneng, nanging
ojo seneng dadi manten.” Menikah itu menyenangkan, tapi karena banyak harta, jangan senang menikah, menikah, menikah, dan
menikah. (Maman Suherman)