Kang Maman – Bela Negara
Bukankah bela negara itu
amanat Undang-Undang Dasar 1945? Jadi, kenapa mesti diributkan?
Mari kita serahkan pada para penguasa di eksekutif, wakil rakyat yang
duduk di legislatif, juga yudikatif untuk menurunkan amanat itu dalam aturan yang
lebih operasional agar seperti kata Cak Lontong, arah dan sasarannya jelas. Bahwa
bela negara bukan militerisasi (bukan wajib militer), tapi sebuah upaya untuk mengajak anak bangsa mencintai negeri ini,
mencintai tanah airnya, mencintai bangsanya, dan tidak menomor-duakan bahasanya
di bawah bahasa lain, yakni Indonesia.
Dan juga pemahaman lebih menyeluruh bahwa bela negara tidak identik
dengan mengangkat senjata (tidak harus menjadi tentara), dan meyakini: membela
pakai belati tidak lebih hebat dari membela pakai hati.
Membuat negara tidak lebih terpuruk, tidak bikin berantakan, tidak
korup harta rakyat dan negara, mengentaskan musuh dari dalam—kata Jason—yakni
kemiskinan dan kebodohan, tidak membakar hutan, tidak menyiksa rakyat dengan
memproduksi asap dan membiarkan rakyat sesak dan wafat karena asap, adalah
wujud bela negara. Pakai hati, bukan
pakai belati.
Bela negara dalam bentuk lain adalah mencintai tanah air sebagaimana
mencintai ibu kita sendiri. Ukhuah wathoniah,
kata Mas Komeng.
Jadi, bela negara hadapai saja dengan riang, seperti saat dengan penuh riang
dan semangat kita bersama menyanyikan lagu Hari
Merdeka dari H. Mutahar, yang menyisipkan dengan tegas satu lirik: “Tetap
setia, tetap sedia, membela negara kita!” (Maman Suherman)
0 komentar:
Posting Komentar